Buatku,
Aku percaya Allah, Tuhanku.
Aku percaya dengan semua keindahan-Nya, kekuasaan-Nya, ciptaan-Nya. Dan tak ku lupa percaya dengan keajaiban dari Allah.
Memang benar kata orang, untuk bisa mencapai satu tujuan kita harus percaya dengan usaha dan percaya kepada Tuhan kita sendiri. Semua usaha yang kita lakukan, sebenarnya bukan sepenuhnya usaha kita. Masih ada Tuhan yang mengerjakan separuh usaha kita itu. Bahkan, dalam usaha itu pun berharap adalah salah satu cara untuk membuat kita lebih semanagat dalam mengejar usaha itu. Tapi kali ini aku akan sedikit membagi cerita tentang keajaiban Tuhan yang sangat indah dan bahkan aku yang hanya manusia biasa tak bisa menyangka akan mendapatkan ini.
Aku punya suatu cerita indah, tentang persahabatan. Bolehkah aku cerita dengan kalian?
Persahabatan jika dialkukan dengan hati ikhlas dan selalu merasa saling memiliki adalah suatu syarat sah, bagiku. Tapi, ada suatu keajaiban dari satu cerita persahabatanku dengan seorang laki-laki yang sangat menginspirasiku sampai sekarang.
Aku dan laki-laki itu awalnya tidak saling mengenal satu sama lain, yang aku tau dia hanya teman ekskul dan dia kakak kelasku. Sejujurnya aku penasaran dengannya, bagaimana tidak? Dia telah menarik perhatianku, mulai berulah layaknya anak laki-laki yang baru mengenal arti kata ‘nakal’. Mungkin kalian bisa tahu bagaimana sikap anak kecil yang masih berumur 11 tahun, lagi nakal – nakalnya bukan?
Laki-laki itu awalnya aku yang mendekati. Sungguh, dulu betapa polosnya aku yang tak tahu peraturan antara laki-laki dan perempuan. Waktu itu, aku sama sekali belum ada perasaan apapun kecuali ingin mengenalnya saja, aku aneh dengannya. “Apa yang dia lakukan sampai saat ini sebenarnya?” Dengan rasa keberanian yang tinggi, ku coba memulai percakapan dari sosial media (sebut saja Facebook). Apa yang terjadi? Percakapan tersebut dimulai. Aku memulainya dengan hanya mengatakan “hai” dan “Lo kelas berapa sih emangnya?” dari dua kalimat tersebut akhirnya menimbulkan percakapan panjang.
Tapi ada yang aneh disini, mengapa aku begitu penasaran dengan laki-laki itu? Sementara dalam ekskul, dia yang selalu bermasalah dan aku akui dia memang handal dalam memainkan drum nya itu. Perasaan ini aneh, apa ini cuma sekedar perasaan aja tanpa melibatkan nafsu? Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku ingin mengenalnya tanpa ada perasaan yang membumbung tinggi.
Percakapan itu terus dilakukan hingga waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Waktu ku kecil, jam segitu mungkin sudah sangat malam. Bahkan, bisa dimarahi ayah ibu hihi. Akhirnya, aku tutup dengan menyampaikan “Gw off dulu ya, udah disuruh tidur. Sampe ketemu pas ekskul lagi.” Setelah menutup percakapan itu, ada yang beda disini, mengapa tiba-tiba aku tertarik padanya? Aku baru kenal, tapi aku sudah sering mengenalnya di tempat ekskul. Sering bertemu di sekolah walaupun tidak sesering teman-teman kelasku. Hmm, apa iya aku jatuh cinta kepada laki-laki itu hanya dengan percakapan sosial media saja? Tanpa melihat mukanya ketika berbicara padaku? Sungguh aneh.
Sabtu, hari yang aku tunggu. Sabtu adalah hari latihan ekskul aku dengan dia. Seperti biasa, aku datang terlalu pagi sampai harus menunggu didepan ruangan tersebut karena masih dikunci. Menunggu adalah salah satu kegiatan yang membosankan, aku jujur untuk kali ini. Tapi, tiba-tiba laki-laki itu datang. Hatiku berdegup kencang layaknya lampu disco di club. Dia datang dan bertanya kepadaku “Hei, yang lain kemana?” aku masih bingung, dia bertanya padaku? Atau kepada siapa? “Hei, kamu bertanya padaku?” aku jawab dengan bibir yang bergetar. “Iyalah, siapa lagi yang rela menunggu didepan ruangan ini seperti kucing yang minta makanan?” dia membalas. “Oh aku, belum. Hanya aku disini. Apa kamu mau duduk disini juga?” aku menawarkan dengan sopan, secara dia adalah kakak kelasku. Apa aku berani untuk menyebut namanya langsung? Tidak. “Boleh, makasih dek. Oh iya, kamu yang chat di Facebook itu kan?” dia bertanya dan aku langsung shock. “Iya kak, aku yang kemarin chat kamu di Facebook. Salam kenal ya kak. Ternyata dunia ini sempit hehe” aku tertawa untuk mencairkan suasana disitu. “Santai aja lagi, salam kenal juga. Wah, kamu jago juga ya ada di ekskul ini”. Apa? Dia memujiku? Tidak, aku tidak boleh melayang ke langit, aku masih jalan ditempat layaknya paskibra. “Ah kakak, bisa saja hehe. Kakak juga kok bisa masuk kesini dengan lancarnya” malu-malu aku menjawabnya. Disela percakapan pertamaku, ternyata Pembina ekskul sudah datang. Ngapain coba datang, menggangu waktuku untuk berbicara dengannya saja,gerutuku.
Sepulang dari latihan, aku dan dia mulai akrab berbicara. Lucu ternyata, berawal dari tidak kenal akhirnya menjadi seorang teman dan diam-diam aku menyukainya. Latihan selesai, aku berbicara dengannya dengan santai layaknya teman sekelasku. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk bertukar nomor telepon dengannya. Tapi, bagaimana cara memulainya? Aku malu. Tapi, aku harus berani untuk memintanya bertukaran. Toh, aku juga ingin dia mengetahui yang sebenarnya bukan?
“Hei kak, aku boleh minta nomor telepon mu tidak?” tanyaku dalam gugup. “Hei dek, boleh lah. Gugup amat dek? Kita gak lomba ini hihi.” dia mencairkan suasana gugupku tadi, memang pintar dia. “Iya kak, berapa nomornya?” aku memegang telepon genggamku. Tapi, tiba-tiba dia mengambil telepon genggamku dan memberikannya lagi padaku. “hei, simpan nomorku juga ya. Siapa tau jika bosan atau sedang tidak ada kerjaan, aku bisa berbincang denganmu. Tidak usah menggunakan Facebook. Terlalu lama. “ ternyata dia juga menginginkan nomorku juga. Tertawa aku dalam hati, waktu itu.
Kami terus ber- SMS ria hingga akhirnya aku tak tahan menahan perasaan ini sendirian. Aku mengungkapkannya dan reaksi dia pun biasa saja. Kenapa biasa saja? Padahal, dari kalimatnya di SMS itu dia begitu menyukaiku tapi mengapa reaksinya biasa saja. Dari sini lah, aku mulai malu. Aku rasa, mengungkapkan itu juga butuh waktu yang pas. Bukan seenaknya aja. Awalnya, aku berharap ingin menjadi kekasihnya, namun aku berfikir menjadi sahabat jauh lebih baik. Yang terpenting orang itu masih disebelah kita, tidak pergi dan menjauh bagaikan matahari dan daratan. Aku dan dia hanya sebatas kakak kelas-adik kelas dan memutuskan untuk bersahabat. Sungguh sesak dada ini mendengarnya. Dia menjadi anak kelas 6 yang dalam hitungan bulan akan lulus dan beranjak menjadi “putih biru” sementara aku menjadi anak kelas 5 yang masih kecil saat itu.
Kelulusan kakak kelas itu akhirnya datang, ekskul aku ikut meramaikan acara wisuda SD itu. Saat diatas panggung, aku gugup. Entah mengapa hati ini tidak bisa berbohong jika hati ini akan kehilangannya. Jujur, kehilangan itu sakit. Apalagi untuk selamanya, aku tak pernah melihatnya lagi. Kenyataan pahit harus ditelan. Mau tidak mau, aku tetap ikut meramaikan acara itu dengan kesedihan mendalam, dan mataku tertuju kepada dia. Dia tak melihatku. Sangat sakit, bukan perkara sakitnya, namun apakah dia merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasa? Aku harap, dia juga merasakannya tanpa aku memberikan “kode” terlebih dahulu. Aku tau, jaman sekarang memang jamannya meng”kode” seseorang, cuma apa harus di “kode”in dulu baru sadar? Laki-laki itu memang aneh, dia mau perempuan itu tahu tentang perasaannya, tapi bagian perempuan itu menyadarinya dan memulai perasaan dengannya malah laki-lakinya yang pergi dan meninggalkan perasaan perempuan itu. Wahai laki-laki, apa kalian tidak tahu? Bahwa, perempuan disayang Tuhan. Kalian tidak akan bisa hidup tanpa perempuan. Kalau memang kalian ingin meninggalkan, cukup bilang saja tanpa menyakitkan. Bisa kan?
Hari-hariku akhirnya kelabu. Perjalanan menuju kelas 6 tanpa kakak kelas itu menjadi pahit. Biasa saja, tak bisa melihatnya lagi dari kejauhan, memanggilnya lalu bersembunyi karena takut. Tetapi, kakak kelas itu hanya bisa ber SMS denganku. Waktu itu, saat sekolah aku tidak boleh mempergunakan telepon genggam saat bersekolah dan aku hanya menitipkan kepada wali kelasku. “Sial, tidak bisa mengetahui kabarnya setiap harinya karena hapeku ditahan” gerutuku.
Perlahan-lahan, aku mulai bisa merelakan kepergian dia. Dia pergi dengan tujuan baik, dan aku pun mengikhlaskannya. Semoga dia senang disana, tanpa hambatan apapun. Dia diterima di SMP Negri didekat rumahnya. Aku harap, banyak orang yang menjaga dia disana. Termasuk aku, yang dari jauh.
Aku sedang berjalan-jalan dengan temanku yang selalu ada disampingku, dia sangat mengetahui bahwa aku pernah menyatakan perasaan itu kepada kakak kelas itu. Berjalan-jalan keliling sekolah memang hobiku saat itu. Makanya aku banyak dikenal adik kelasku, terkenal kah diriku di SD itu? Tiba-tiba aku melihatnya kakak kelas itu. Apa aku tidak salah liat? Hah? Apakah benar dia datang ke sekolah ini?
Apakah benar dia datang ke sekolah ini?
“Hei kak, kamu mau ngapain kesini? Kamu gak sekolah?” tanyaku.
“Hei dek, tidak. Sekolah belum waktunya masuk. Sepertinya besok. Oh iya, kamu pasti mau menanyakan kan kenapa aku berada disini. Aku kasih tau duluan, aku disini mau mengurus adikku. Adikku kelas 3A. Tolong dijaga ya dek. “ jelasnya saat itu. Aku tidak menyangka jika adiknya akan ada di sekolah ini. Berarti jika ada adiknya itu artinya dia akan datang terus kesini? Yes! Harapanku belum punah ternyata menemukanmu, hihi.
“Adikmu pindah? Dari mana?” tanyaku penasaran.
“Itu dari SD sebelah itu, aku tidak tahu alasannya tapi tolong jaga adikku ya.” Perjelasnya lagi. “Yasudah, aku pulang dulu ya dek, kamu baik-baik disini. Ini bukan pertemuan terakhir kita” lanjutnya. Hatiku berdegup kencang saat dia berbicara seperti itu.
“Pasti kak, semoga kita bertemu lagi. Dadah kak!” aku melemparkan senyumku untuknya, ku harap dia jatuh cinta dari senyumku.
“Dadah juga dek!” melemparkan senyum juga dia.
Hatiku berdegup kencang, membuat aku salah tingkah sendiri. Mengapa semuanya begitu cepat? Pertemuan yang pernah aku dambakan sebelumnya pun terjadi tadi. Tadi. Baru saja terjadi, apa aku mimpi?
Hari demi hari yang aku lakukan jika istirahat adalah mengelilingi sekolah dan selalu melewati kelas adiknya kakak kelas itu. Aku penasaran, mengapa adiknya harus pindah kesini? Padahal sekolah negri jauh lebih enak, tidak dikenakan biaya sedikit pun. Indonesia selalu punya keunikan, apalagi tentang sekolah atau yang berhubungan dengan edukasi. Jika itu berasal dari pemerintah, sekolah itu gratis dan tidak dikenakan biaya sedikit pun kecuali baju sekolah. Baju sekolah disini harus beli sendiri, karena itu merupakan tanggung jawab dari siswa/siswi itu sendiri. Jika itu bukan dari pemerintah, artinya sekolah itu dikenakan biaya operasional. Dari uang gedung, uang bulanan, dan macam-macamnya. Makanya, sekarang Indonesia meningkatkan fasilitas pemerintah. Karena sekolah yang bukan berasal dari pemerintah (swasta) merupakan sebuah beban tersendiri. Indonesia mempunyai syarat untuk bisa masuk ke sekolah negri, dengan mendapatkan nilai yang bagus dan cukup mencapai tujuan. Aku rasa ini salah satu syarat terberat bagiku, karena aku selalu gagal masuk sekolah negri aku akui. Sekolah swasta di Indonesia itu sangat berat dan mahal untukku. Cukup aku saja disini yang pernah sekolah swasta. Kalian, para viewers jangan pernah. Gak enak sekolah swasta please.
Cukup kali ya curhat tentang Indonesia, aku lelah dengan Indonesia ini sungguh. Balik lagi aja ke cerita aja ya :)
Kegiatan kelas 6 ku pun dimulai. PM (Pendalaman Materi) yang selalu diadakan hari Selasa-Sabtu. Sungguh melelahkan. Beberapa Pre-Test ku aku selalu mendapatkan nilai yang sebenarnya kurang dan akhirnya aku masuk ke kelas D/E/F. Dalam kelas PM ku kelas D/E/F merupakan kelas yang sangat biasa saja, tidak ada bagusnya seperti kelas A/B/C. tapi, itu tidak mengurangi semangatku untuk belajar. Hari Sabtu selalu aku nantikan, aku bisa bertemu dengan kakak kelas itu. Karena adiknya mengikuti ekskul di hari yang sama dengan aku PM. Bahagia sekali. Aku bisa bertemu dengan kakak kelas itu. Ya, walaupun tidak sesering bertemu teman-temanku setiap hari tapi setidaknya melihatnya cukup membuatku tenang.
Ujian Nasional pun berlangsung, semua test yang aku lakukan pada saat kemarin-kemarin aku kerahkan. Betapa bodohnya aku, di hari pertama Ujian Nasional kertas jawabanku robek. Otomatis aku harus ke dinas untuk menggantinya yang didampingi oleh kepala sekolahku,waktu itu. Hari-hari UN itu nampak biasa lagi sepertinya. Setelah kejadian kertas jawabanku robek, akhirnya aku dijadikan pusat perhatian saat itu. Hm, aku paling tidak suka season ini.
Libur telah tiba, semua siswa/siswi kelas 6 menunggu liburan itu. Sungguh membosankan menjadi anak kelas 6 yang tak kunjung selesai kegiatannya. Tapi, yang terpenting aku sudah mendapatkan jatah liburku.
Pengumuman UN pun tiba, masih ku ingat tanggal 16 Juni 2012. Aku berhadapan dengan surat kelulusan. Sungguh, aku sangat malu jika tidak lulus karena hal bodoh. Saat aku membuka surat itu, tertera namaku dan kenyataan bahwa aku LULUS. Alhamdulillah, tak ku sangka kejadian bodoh itu menjadi sebuah malapetaka untuk kelulusan aku. Akhirnya, aku memberikan gambar surat kelulusan itu ke Facebook dengan tulisan “Untuk ka *****, ini buat kamu”. Dia mengomentarinya dan mengucapkan selamat kepadaku. Sungguh tak menyangka, kejadian kelulusan itu kenyataan dan akhirnya gantian aku yang wisuda hihi.
Aku tidak mendapatkan SMP Negri saat itu, akhirnya aku bersekolah di SMP Swasta yang baru dibangun karena tidak ada alternatif lagi. SMP itu satu lingkungan dengan SD ku dan satu yayasan. Jadi, tidak susah untuk beradaptasi disini. Aku harap, semuanya akan baik-baik saja nanti dan seterusnya.
Aku mendapat kabar dari kakak kelas itu bahwa kakak kelas itu akan pindah ke SMP Swasta dekat dengan lingkungannya. Tidak dekat banget sih, ya sekitar 1 KM dari sekolahku. Karena, keinginan dia yang pindah dan katanya ga betah sekolah di SMP Negri itu. Aku hanya mengiyakan dan sambil aku memberi informasi bahwa aku bersekolah di SMP Swasta (lagi). Sungguh, yang aku berikan bukan kabar baik. Kabar buruk buatku.
2012 adalah tahun dimana aku baru menginjak kelas 7 di SMP tersebut. Sungguh masih kecil ternyata aku, aku dan dia hanya selisih setahun. Tahun ini pun tahun dimana terjadi banyak sekali masalah. Entah kenapa karena masalah, semua orang bahkan sampai ke sifatnya bisa berubah. Aku dan dia selalu terkena masalah, aku selalu menganggapnya badai. Saat itu, aku masih suka dengannya. Dia saat itu sangat suka dengan Bis atau bisa dipanggil Busmania. Masalah itu selalu datang layaknya angin yang berhembus. Tiada hentinya. Sampai akhirnya, aku tak tahan lagi dengan dia. Aku dan dia memutuskan untuk tidak berbicara dulu sampai waktunya akan kembali lagi. Menurutku, jika masalah diselesaikan dengan amarah tak akan selesai. Apalagi, ego dia jauh lebih tinggi dibandingkan aku. Aku hanya adik kelas, aku cuma pengangum saja. Dia tidak akan memperdulikanku. Buat apa juga memperdulikan anak kecil sepertiku, aku Cuma tidak suka dia membohongiku, mencari pisau untuk membunuhku. Lebih baik menjauh daripada terus tersiksa begini,bukan?
Tahun demi tahun aku jalani dengan penuh kesendirian, aku sepi tidak ada kehadirannya. Tapi aku rasa ini bukan waktunya yang pas untuk memulainya. Dia memblokir semua sosial mediaku,seolah-olah dia tidak ingin mengenalku lagi. Jika memang itu yang terbaik untuk dia, aku bisa apa? Semoga apa yang dilakukannya benar dan bisa membuat dia berubah. Aamin.
2014, aku saat itu duduk di kelas 8. Dia kelas 9 saat itu, dia menuju kelulusannya. Aku sih masih dengan keegoisanku dulu, pokoknya aku tidak akan berbicara sebelum semuanya baik-baik saja. Tahun itu, dia telah lulus. Aku mendengar kabar itu, tapi ya dengan sikap tak acuhku. Biasa saja, bagaikan angin berlalu saja. Ku tak peduli, ku tak peduli. Tapi, aku mendengar bahwa dia akan pindah ke Jogja. Tiba-tiba hatiku mulai sakit. Bukannya harusnya aku senang tidak bertemu dengan monster itu? Tapi, aku sedih banget dia pindah? What? Apa perasaan aku masih ada buat dia? Please, jangan pindah.
Aku rindu, kenapa kamu harus pindah? Aku bukan membuatmu harus pindah kota seperti ini. Apa ini karena masalah kita jadinya kamu pindah? Harusnya tidak ada masalah ini, kalo memang kamu ingin pindah dari Ibukota ini. Aku sedih, tidak ada orang yang bisa aku ajak ketemu lagi nanti, aku gak terima kamu pergi sekarang, kak. Tapi apa semuanya bisa membuatmu kembali? Sepertinya tidak.
2015, aku masih bersama kesedihanku karena dia pindah. Bersama juga dengan kelulusan SMP ku dengan nilai yang hancur. Mau tidak mau aku masuk SMA Swasta (lagi). Aku dengar dia juga di SMA Swasta Islam rupanya. Ya sudah, mungkin memang belum saatnya aku bertemu bahkan berbincang dengannya lagi. Tahun ini, masa SMA aku dimulai. SMA awal aku punya pacar, awalnya si laki-laki itu suka sama aku pas MOS terus akhirnya nembak dan kita berjalan 7 bulan.
2016, aku hancur. Karena kejadian perpisahan aku dengan laki-laki itu. Bukan mengingat yang paling menyakitkan, tapi merelakan kepergiannya jauh menyakitkan. Itu pun, butuh waktu sekitar 9 bulan untuk merelakannya.
Disela-sela aku merelakan kepergian laki-laki itu, tiba-tiba adik dari kakak kelas itu menyapaku dengan Facebook. Dia menanyakan kabarku dan semacamnya. Aku mulai curiga, sepertinya bukan adiknya yang menulis seperti ini. Tiba-tiba adiknya pun LINE aku “Kak, itu si …….. yang ngomong. Ladenin aja” WHAT? DIA UDAH SADAR? KENAPA TELAT COBA? Aku tetap dingin terhadap obrolan tersebut hingga akhirnya kakak kelas itu tak tahan berpura-pura menjadi adiknya. Pura-pura itu ga enak, makanya ngomong sendiri aja bisa kan? dalam hatiku.
Kakak kelas itu memberi tahu bahwa dia sedang menggunakan Facebook adiknya untuk berkomunikasi denganku dan menawarkan untuk kembali dengannya. Awalnya aku ragu, tapi aku terima. Mungkin saja dia sudah berubah? 4 tahun bukan waktu sebentar untuk berubah bukan? Memang, mempercayai satu orang kembali itu susah, tapi dia juga manusia. Apa iya kita masih tidak percaya dengan perubahannya?
Entah mengapa, saat dia menawarkan itu aku seperti jatuh cinta lagi dengannya. Apa iya, aku jatuh cinta dengan orang yang telah menyakitiku 4 tahun lalu?
Aku dengannya hanya sebatas teman biasa, bukan sahabat. Karena aku belum mempercayainya penuh, aku masih biasa saja. Desember 2016, dia terlihat galau dalam akun instagramnya. Seperti ditinggal kekasih, apa iya dia punya kekasih?
Aku memulai percakapan dan bercakap tentang apa yang terjadi disana, ternyata dia baru saja dibuat nyaman oleh seorang perempuan dan perempuan itu mengetahui bahwa dia menyukainya. Perempuan itu menjauh, dan dia sangat sedih. Aku merasa iba, tapi sayangnya aku jauh. Bagaimana aku bisa menggapai badan dia untuk ku peluk jika jarak memisahkan?
Dia terus berbicara denganku dengan WhatsApp. Cukup canggih teknologi ternyata, dan dia menyampaikan akan datang ke Ibukota tanggal 20 Desember 2016. Aku sangat menunggunya, untuk memberikan motivasi kepadanya. Aku masih dengan rasa jatuh cintaku itu, aduh aku gabisa move on ternyata dari kakak kelas itu.
22 Desember 2016, akhirnya kami bertemu. Dia datang ke rumahku dan meminta izin orang tuaku untuk membawaku sekedar berbincang di dekat sekolahku. 7-11, sebuah tempat yang baru hits dan menjadi favorit anak jaman sekarang. Aku dan dia memlih tempat itu karena dekat dengan rumah walaupun 1 KM. Ketika aku diboncengi naik motor, hatiku berdegup kencang. Entah kenapa, rasanya aku ingin memeluknya, dan mengatakan “kamu jangan sedih lagi, ada aku disini”. Percakapan di motor itu sangat singkat dan membuat aku deg-degan. Bagaimana tidak? Dia dulu tidak bisa naik motor dan aku mengenalnya adalah anak biasa saja. Tapi ternyata, dia rider. Hihi.
Sepulangnya dari 7-11 dia terdiam sepanjang jalan, entah apa karena solusiku salah apa bagaimana. Tapi kita sangat diam. Aku hanya diam, tak berani memulai pembicaraan. Beberapa meter dari rumah, dia menurunkan aku dan bilang “Makasih dedek emesh” WHAT? APA YANG DIA BILANG? APA GAK MIMPI?
24 Desember 2016, dia datang bersama adiknya. Berkunjung yang terakhir, karena besok dia harus ke Bandung untuk liburan berikutnya. Tanggal ini, dia memegang tanganku dan mengatakan “aku akan pergi lama”. Aku menangis mendengarnya. Untuk menghilangkan kesedihanku, kita berdua berfoto dan aku belum menyangka bahwa dia akan merangkulku. APAKAH INI MIMPI LAGI?
Besoknya dia pergi ke Bandung,aku sedih. Aku harap itu bukan pertemuan terakhirku dengannya.
27 Desember 2016, dengan sangat tidak menyangka. Dia menyatakan perasaannya kepadaku, ternyata selama aku berjuang merelakan laki-laki itu dia menyukaiku. Aku tidak menyangka, sedangkan aku sudah tidak bisa menahan semuanya. Aku hilang. Tanggal itu, aku punya hubungan spesial dengannya.
Menunggu itu memang indah, tapi bukan selamanya indah.